Friday, December 31, 2010

LAHIRNYA IKATAN CENDEKIAWAN MUSLIM INDONESIA

Banyak pendapat mengenai “terkucilnya Islam yang nyaris menyeluruh dari pemerintahan” dan “tidak ada dikotomi apapun yang benar-benar bersifat agama dan yang tidak” seolah-olah dimentahkan dengan lahirnya ICMI, Islam tidak lagi dikucilkan. Menurut Dawam Rahardjo, ide pendirian suatu organisasi seperti ICMI sudah lama beredar di kalangan cendekiawan Islam. Berawal dengan suatu pertemuan cendekiawan Muslim pertama tahun 1984 yang diselenggarakan oleh Majlis Ulama Indonesia, MUI, dua universitas Islam, dan 4 lembaga swadaya masyarakat, yang dimotori oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat, LSAF. Pada tahun 1987 dalam suatu pertemuan cendekiawan muslim di kampus Universitas Djuanda, Bogor, dalam “patronase” Letnan Jenderal, purnawirawan, Alamsyah Ratu Perwiranegara, tercetus lagi gagasan untuk membentuk ikatan cendekiawan muslim. Karena inisiatif yang hampir sama muncul juga dari Makassar dan Surabaya maka diambil suatu jalan tengah “dibawah kepemimpinan sidang Letjen (purn.) Achmad Tirtosudiro” dan dibentuk sebuah forum dengan nama Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia”, FKPI. Menurut Rahardjo inilah cikal-bakal sesungguhnya ICMI. Dengan begitu apa yang terjadi di Malang bulan Desember 1990 hanyalah suatu gerak terakhir dari seluruh proses di mana B. J. Habibie diangkat menjadi Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.

Pada 6 Desember 1990, masyarakat Indonesia menyaksikan sosok Presiden Suharto berpakaian tradisional santri, menabuh bedug menandai kongres pertama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Untuk banyak kalangan Muslim Indonesia, peristiwa ini menandakan restu presiden kepada ICMI merupakan awal dari rangkaian pendekatan pemerintah terhadap masyarakat Muslim pada masa itu. Apakah restu ini hanya merupakan strategi oportunistik untuk mendapatkan dukungan orang Islam? Atau, seperti diungkapkan banyak anggota ICMI, apakah tindakan presiden lebih merupakan pengaruh oleh pengakuannya terhadap perubahan-perubahan besar pada masyarakat Indonesia, khususnya menguatnya kalangan Islam?

Awal Mula Berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia

Ide awal Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia sangat sederhana. Bermula dari ide lima mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Pada awalnya, mereka merencanakan simposium cendekiawan muslim ini berlangsung pada tanggal 29, 30 September 1990, dan 1 Oktober 1990 dan mengundang B. J. Habibie sebagai pembicara. Lalu ide ini terus berkembang dan rencananya pun berubah. Jadwal simposium diundur dan pembicara serta pesertanya diperluas. Maka pembicaraan tentang ICMI pun semakin merebak[1].

Pada tanggal 6-9 Desember 1990 di Malang, Jawa Timur, diadakan simposium cendekiawan yang dihadiri 500 peserta dengan tema “Membangun masyarakat Indonesia abad 21”. Simposium ini menghasilkan sebuah organisasi baru yaitu Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Pertemuan ini dibuka oleh Presiden Soeharto dan ditutup oleh Wakil Presiden Sudharmono. Para peserta pertemuan ini terdiri dari intelektual –intelektual muslim terkemuka di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pertemuan ini bukanlah hal yang main-main[2].

Arti Cendekiawan

Cendekiawan dalam arti intelektual mengandung syarat-syarat tertentu. Soedjatmoko contohnya, adalah seseorang yang tidak pernah lulus perguruan tinggi, namun ia diakui sebagai cendekiawan besar karena ia melahirkan tulisan ilmiah mengenai ide-ide sosial dan kemanusiaan. Cendekiawan tidak perlu seorang sarjana, bahkan sarjana sendiri belum tentu merupakan seorang cendekiawan. Kriteria cendekiawan yang umumnya disepakati salah satunya adalah, cendekiawan memiliki sikap dan visi intelektual yang mengatasi batas-batas disiplin, yang memiliki komitmen kuat pada kemanusiaan, harkat, nilai-nilai, aspirasi dan hati nurani yang memiliki sikap kritis dan mandiri.

Dalam ART ICMI Bab I Pasal I, Cendekiawan muslim didefinisikan sebagai orang Islam yang peduli terhadap lingkungannya, terus menerus meningkatkan kualitas iman dan taqwa, kemampuan berpikir, menggali, memahami dan menrapkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kehidupan keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan untuk diamalkan bagi terwujudnya masyarakat madani.

Tujuan dan Fungsi ICMI

Saat pertama kali didirikan, ICMI diketuai oleh Prof. Dr. B. J. Habibie, selaku Menteri Negara Riset dan Teknologi. Hal ini sesuai dengan maksud didirikannya ICMI yaitu meningkatkan kemampuan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pilihan ini tepat karena penguasaan iptek akan menjadi faktor penentu bagi suksesnya pembangunan Indonesia di abad ke-21[3].

Seperti tertulis dalam anggaran dasarnya, ICMI bertujuan mewujudkan tata kehidupan masyarakat madani yang diridhoi Allah subhanahu wata'ala dengan meningkatkan mutu keimanan dan ketaqwaan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam, kecendekiawanan dan peran serta cendekiawan muslim se-Indonesia. ICMI merupakan ormas yang berasaskan Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dalam berorganisasi, ICMI memiliki 3 sifat yakni ke-Islaman dan ke-Indonesiaan; keilmuan, kepakaran, kecendekiawanan, dan kebudayaan; serta keterbukaan, kebebasan, kemandirian, dan kekeluargaan.

Dari perspektif politik, kehadiran ICMI ini memiliki pengertian strukturalistik. Dengan berhimpun dalam satu wadah, sumber daya intelektual dan spiritual akan memperkaya wahana dan infrastruktur umat Islam. Basis ini dengan sendirinya akan memberi peluang untuk mengasah sumber-sumber kekuasaan agar menjadi kekuatan politik yang fungsional. Akses politik Islam akan menjadi semakin terlihat. ICMI diharapkan menjadi salah satu institusi yang memperkuat interaksi Islam sebagai kekuatan politik dengan birokrasi dan pembuat keputusan. Dari proses interaksi ini, diharapkan keluar kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berguna bagi pembangunan kesejahteraan umat dan peningkatan kualitas manusia serta pengembangan bidang spiritual.

Menurut Emil Salim, ICMI merupaka wadah yang terbuka bagi seluruh intelektual Islam. Potensi cendekiawan muslim yang berasal dari aliran apapun, warna politik manapun, dari kelompok manapun, selama ia muslim dapat dihimpun dalam kesatuan cendekiawan muslim. Menurut Nurcholis Madjid, munculnya ICMI adalah akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam di Indonesia[4].

Kegiatan-kegiatan ICMI

Guna mewujudkan tujuannya dan dalam rangka menegakkan kebajikan, mencegah kemungkaran, ICMI menyelenggarakan kegiatan-kegiatan berikut:

1. Meningkatkan mutu komitmen dan pengamalan keimanan-ketaqwaan, kecendekiawanan, dan kepakaran para anggota melalui peningkatan pembelajaran dan koordinasi sistem jaringan informasi dan komunikasi di dalam maupun di luar negeri.

2. Mengembangkan pemikiran, menyelenggarakan penelitian dan pengkajian yang inovatif, strategis, dan antisipatif dalam rangka mempengaruhi kebijakan publik serta berupaya merumuskan dan memecahkan berbagai masalah strategis lokal, regional, nasional dan global.

3. Berperan aktif mengembangkan sistem pendidikan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa, khususnya umat Islam Indonesia.

4. Menyelenggarakan berbagai kegiatan pemberdayaan dan advokasi kebijakan di bidang sosial, ekonomi, hukum, danbudaya dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan martabat rakyat kecil dan kaum yang lemah guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Mempublikasikan dan mengkomunikasikan hasil-hasil pemikiran, penelitian, kajian, dan inovasi bekerjasama dengan berbagai kalangan, baik perorangan, lembaga, perhimpunan, pemerintah maupun swasta.

Struktur Organisasi ICMI

Struktur Organisasi ICMI terdiri atas Organisasi Satuan (Orsat) dengan lingkup kecamatan, Organisasi Daerah (Orda) untuk lingkup Kabupaten/Kota, Organisasi Wilayah (Orwil) untuk tingkat Propinsi, dan Organisasi Pusat yang berskala nasional. Apabila disuatu daerah tertentu terdapat kasus khusus, maka untuk mempermudah pengaturan administrasi dan koordinasi dapat dibentuk Organisasi Wilayah. Jika diperlukan Badan Otonom, Batom ini dapat dibuat dan dipertanggungjawabkan kepada ketua koordinasi Batom sesuai dengan jenjang organisasinya. Batom adalah Badan Otonom milik ICMU yang melakukan kegiatan Usaha yang secara otonom untuk memajukan ICMI dan anggotanya yang didasari kepada transparansi dan akuntabilitas serta mempertanggungjawabkannya kepada pengurus ICMI sesuai dengan jenjang organisasi.

ICMI adalah organisasi cendekiawan muslim yang mnghimpun berbagai unsur cendekiawan dari berbagai kalangan masyarakat. Untuk memelihara dan melestarikan persatuan dan kesatuan banga, ICMI melakukan kerjasama dengan pemerintah, organisasi cendekiawan lain, ormas-ormas, dan berbagai unsur kalangan masyarakat.

Adam Schwartz menyebutkan ada tiga kelompok besar yang menjadi inti ICMI. Yang pertama adalah birokrat pemerintah dan ‘teknolog’ yang bekerja dibawah Habibie, ditambah dengan sekumpulan pemimpin Golkar, profesor universitas, pebisnis dan menteri-menteri kabinet yang didorong untuk memasuki organisasi ini ketika ICMI mulai mendapatkan bentuknya di awal 1991. Kelompok kedua termasuk tokoh-tokoh dan pemikir Muslim moderat yang merasa senang dengan ICMI sebagai forum intelektual di mana kam Muslim yang memiliki perhatian dapat berdiskui bagaimana Islam dapat dibuat menjadi kekuatan sosial yang lebih positif dalam Indonesia modern dan bagaimana pengajaran Islam dapat diubah untuk memperbaiki keadaan ekonomi kaum Muslim yang miskin. Anggota jenis ini termasuk Nurcholis Madjid, Emil Salim dan lain sebagainya. Kategori ketiga terdiri dari sebagian besar pemimpin Islam di luar pemerintah dengan rencana yang lebih ambisius untuk ICMI. Mereka lebih menyukai suatu kendaraan politik yang lebih aktif mewakili Muslim modernis. Lebih dari kedua kelompok sebelumnya, mereka lebih bertanggung jawab terhadap ide-ide yang menngerakan ICMI. Akibatnya mereka menganggap dirinya sebagai ‘ICMI yang sesungguhnya’. Mereka juga mewakili sayap yang lebih mendapatkan perhatian militer dan yang ingin dirangkul Soeharto. Para anggota kelompok ini diantaranya adalah Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas dan lain-lain[5].

Pengaruh ICMI

Pengaruh ICMI cukup besar di tahun 1990an, pada awal pembentukannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena BJ Habibie, ketua ICMI merupakan orang kepercayaan Presiden Soeharto. Sepak terjang ICMI di masa Orde Baru cukup kuat. Pemikiran-pemikiran yang maju dan kontroversial akan diikuti oleh pihak lain. Salah satu pencapaiannya adalah berdirinya Bank Muamalat, sebuah bank yang berbasis syariah yang merujuk pada kaidah-kaidah hukum Islam. Selain itu, haru dicatat pula berdirinya Koran Republika, yang bertujuan menjadi wadah bagi hasil karya, ide-ide dan kreativitas serta pemikiran para cendekiawan muslim dalam bentuk tulisan atau karangan, telah membentuk sebuah cara pandang baru tentang Islam terhadap dunia bagi semua orang[6].

Penolakan terhadap ICMI

ICMI mengambil keuntungan dengan memperoleh posisi kesutu dalam diskursus agama Orde Baru di mana agama adalah kekuasaan dan menghapuskan apa saja yang memberi kesan adanya dikotomi antara agama dan bukan agama dari satu proses kepada proses lain. Di sana dilibatkan unsur-unsur institusi agama, militer, dan birokrat lainnya. Dari satu fase ke fase lainnya ICMI demikian tergantung pada “ya” atau “tidak” yang diberikan para penguasa. Bukan sesuatu yang tanpa maksud bila di sana disebut jenderal-jenderal, bahwa mereka sudah pensiun tidak menjadi soal di sini, dan para birokrat Orde Baru lainnya yang mengambil prakarsa atau pendiri ICMI. Pada tahun 1984 tergantung “ya” atau “tidak” MUI dan Menteri Agama; pada tahun 1987 alasan yang sama dikemukakan, dan pada tahun 1990 mendapatkan suatu “YA” besar dari presiden republik Indonesia yang menugaskan wakilnya menjadi ketua suatu ikatan cendekiawan.

Dengan memasuki proses ini dapat dipahami bagaimana dalam satu tarikan ICMI membongkar seluruh paham tentang kaum cendekiawan. Di mana pun dalam sejarah hampir tidak pernah ditemukan adanya organisasi bagi makhluk yang menganggap dirinya paling merdeka di dunia karena organisasi dianggap selalu mengikat. Semua mengenal organisasi profesional seperti ikatan ahli ilmu politik, ikatan ahli ilmu sosiologi dan lain sebagainya, akan tetapi belum pernah ada suatu organisasi kaum intelektual. ICMI memporak-porandakan paham bahwa kaum cendekiawan adalah makhluk merdeka karena sebagian pasti dekat dengan modal, sebagian lagi dekat dengan kekuasaan, dan sisanya dekat dengan keduanya.

Pendirian ICMI tidak dengan sendirinya membangkitkan persetujuan kaum cendekiawan yang lain. gabungan dalam suatu aliasnsi antara rezim Orde Baru dengan suatu organisasi cendekiawan Muslim menimbulkan kekhawatiran beberapa kalangan. Abdurrahman Wahid, ketua PBNU saat itu, menolah mentah-mentah ICMI dan mengatakan bahwa ICMI menyebarkan sekterianisme. NU sebagai organisasi menolak masuk ke dalam ICMI. Dipihak lain, Abdurrahman Wahid membentuk Forum Demokrasi—bersama-sama sejumlah cendekiawan “bebas”, termasuk beberapa orang yang sudah duduk di dalam ICMI—pada tahun 1991, hanya berselang beberapa bulan setelah ICMI terbentuk. Forum Demokrasi, dengan Abdurrahman Wahid sebagai ketuanya, sama sekali tidak penting dari segi organisasi. Namun, gabungan antara kaum agama dan kaum sekuler yang mengumumkan niat untuk berkoalisi dengan siapa saja yang membuka jaan menuju Indnesia yang demokratis membuat pemerintah Orde Baru khawatir—terutama penyebutan kata demokrasi tanpa embel-embel Pancasila. Kalau kelahiran ICMI sepenuhnya didukung pemerintah Orde baru, Forum Demokrasi justru sebaliknya. Mereka dilarang membentuk cabang dan hanya diperkenankan berdiri sebagai forum, tidak diperkenankan menjadi organisasi yang melantik anggota.


DAFTAR PUSTAKA

Dhakidae, Daniel, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003

Hefner, Robert W., ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia, Penerjemah : Endi Haryono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995

_____, ICMI DAN HARAPAN UMAT, Editor : Abrar Muhammad, Jakarta : Yayasan Pendidikan Islam RUHAMA, 1991

Tempo No. 41 tahun XX, 8 Desember 1990

Sumber internet:

www.icmi.or.id (website resmi ICMI)

www.icmiriau.net (website resmi ICMI Riau)

http://id.voi.co.id



[1] Tempo No. 41 tahun XX, 8 Desember 1990

[2] Gunawan Mohammad, Ibid

[3]Abrar Muhammad (Editor), ICMI DAN HARAPAN UMAT, Yayasan Pendidikan Islam RUHAMA, Jakarta, 1991 Hlm. 14

[4] Tempo No. 4 tahun XX, 8 Desember 1990

[5] Adam Schwarz, A Nation in Waiting, Indonesia in the 1990s, Allen and Unwin, 1994, hlm. 176-177

No comments:

Post a Comment